Yance Anas, M.Sc., Apt.
Fakultas Farmasi Universitas Wahid
Hasyim
1. Agonis dan Antagonis
Suatu senyawa (ligand) yang mampu berikatan dengan reseptor
dan mengakibatkan modifikasi protein reseptor sehingga menghasilkan suatu
rangsangan dan perubahan fungsi sel disebut sebagai agonis, sedangkan senyawa
yang mampu berikatan dengan reseptor dan kemudian menurunkan atau menghilangkan
efek suatu agonis, disebut sebagai antagonis (Lullmann et.al., 2000). Agonisme merupakan sebuah peristiwa interaksi ligand
dan reseptor yang mampu menghasilkan respon yang dapat teramati. Sistem di dalam sel akan memproses rangsangan
tersebut dan menghasilkan sebuah respon yang dapat teramati. Gambar 1 mengilustrasikan secara rinci
tentang agonis dan antagonis. Suatu
senyawa obat yang mampu menghasilkan respon maksimum disebut sebagai full agonist, sedangkan jika respon yang
dihasilkan merupakan respon sub-maksimum, maka agonis tersebut merupakanpartial agonist. Senyawa obat bisa saja menghasilkan efek yang
berlawanan dengan efek yang diharapkan dan senyawa ini disebut sebagai inverse agonist (Offermanns dan
Rosenthal, 2008)
Gambar
1. Kurva
hubungan dosis-respon dari suatu obat yang menghasilkan berbagai efek terhadap
sistem fisiologis (Offermanns dan Rosenthal, 2008)
Potensi sebuah agonis digambarkan oleh parameter effective-concentration 50% (EC50),
merupakan konsentrasi suatu agonis pada reseptor yang mampu menghasilkan respon
sebesar 50% dari respon maksimum. EC50
dapat dihitung berdasarkan kurva hubungan dosis-respon yang mencerminkan
aktivitas intrinsik dari sebuah agonis yang mampu memberikan respon
maksimum. EC50 juga
menggambarkan besarnya afinitas agonis terhadap reseptornya (Offermanns dan
Rosenthal, 2008). Walaupun dua agonis memiliki efek maksimum yang sama,
afinitas agonis terhadap reseptornya bisa digambarkan oleh EC50,
sehingga EC50 juga bisa digunakan untuk membandingkan potensi dari
dua buah agonis (Brunton et.al.,
2008)
Partial agonist akan menghasilkan respon di bawah
respon maksimum, walaupun semua sisi aktif reseptor telah diduduki oleh jenis
agonis yang satu ini (Lullmann et.al.,
2000). Perbedaan respon tertinggi dari beberapa partial agonist menggambarkan perbedaan efikasi dari agonis
tersebut, sedangkan perbedaan EC50 dari beberapa partial agonist menggambarkan perbedaan
afinitas dari agonis tersebut pada reseptor yang sama (gambar 8a). Perbedaan efikasi pada beberapa full agonist tidak dapat diamati, hal
ini disebabkan karena respon maksimum dari beberapa full agonist tersebut adalah sama.
Perbedaan EC50 untuk full
agonist bisa disebabkan karena perbedaan afinitas dan atau perbedaan
efikasi (Offermanns dan Rosenthal, 2008). EC50 suatu agonis dapat
dihitung dengan membuat persamaan regresi antara logaritma konsentrasi agonis
(log [A]) dan % respon. EC50
juga biasanya disajikan dalam bentuk lain, yaitu pD2 yang merupakan
nilai dari minus logaritma EC50.
1.
Antagonisme
Penghambatan
efek agonis oleh suatu ligand disebut sebagai peristiwa antagonisme. Karakteristik dari pengaruh antagonis adalah
efeknya yang mampu mengurangi kemampuan agonis dalam menghasilkan respon
maksimum. Berdasarkan lokasi ikatan antagonis pada reseptor, maka antagonis
dibagi menjadi dua, yaitu antagonis kompetitif dan antagonis non-kompetitif. Antagonis kompetitif menduduki
tempat ikatan yang sama dengan agonis pada sisi aktif reseptor sel target,
tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan di dalam sel (efficasi zero). Antagonis non kompetitif
dapat menghambat efek suatu agonis dengan cara berikatan di tempat lain pada
reseptor yang sama, sehingga akan menghambat fungsi reseptor tersebut, atau
bisa diakibatkan karena antagonis memediasi perubahan reaktivitas reseptor
terhadap agonis (Offermanns
dan Rosenthal, 2008).
Efek
sebuah antagonis terhadap kurva hubungan dosis-respon agonis dapat
menggambarkan mekanisme interaksi sebuah antagonis dengan reseptor. Suatu antagonis dapat dikelompokkan sebagai
antagonis kompetitif adalah jika dilakukan peningkatan konsentrasi agonis pada
reseptor akan menghasilkan respon maksimum kembali setelah diturunkan oleh
antagonis. Dengan adanya pengaruh dari
sebuah antagonis, pemberian konsentrasi agonis yang lebih besar akan tetap
mampu menghasilkan respon maksimum.
Antagonis kompetitif disebut juga sebagai sebagai “antagonis yang
terbalikkan” dengan penambahan konsentrasi agonis (surmountable antagonist).
Jika peningkatan konsentrasi agonis pada reseptor tidak dapat kembali
menghasilkan respon maksimum, maka antagonis tersebut bukan merupakan antagonis
kompetitif. Antagonis jenis ini kemudian
disebut sebagai “antagonis yang tak terbalikkan” (unsurmountable antagonist) atau irreversible
antagonist (Offermanns
dan Rosenthal, 2008).
Konsep
dasar dari teori reseptor mengenai antagonis adalah berupa gagasan tentang
mekanisme molekuler spesifik pada saat interaksi agonis dan antagonis, yaitu
interaksi ortosterik dan alosterik.Interaksi ortosterik terjadi bila dua
molekul saling berkompetisi untuk menempati satu sisi ikatan yang sama pada
sebuah reseptor, sedangkan interaksi alosterik terjadi ketika dua molekul tidak
berkompetisi untuk berikatan pada sisi ikatan yang sama, akan tetapi
masing-masing memiliki tempat ikatan tersendiri pada reseptor dan keduanya
berinteraksi melalui efeknya terhadap protein (perubahan konformasi
reseptor). Pada interaksi ortosterik
hanya satu molekul saja yang dapat menduduki reseptor, sedangkan pada interaksi
alosterik, kedua molekul dapat menduduki reseptor pada waktu bersamaan. Kedua mekanisme aksi antagonisme ini memiliki
pengaruh terhadap aktivitas farmakologi agonis.
thanks for sharing
BalasHapus