Senin, 26 Maret 2012

Interaksi Obat dengan Reseptor

Yance Anas, M.Sc., Apt.
Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim
1.      Agonis dan Antagonis
Suatu senyawa (ligand) yang mampu berikatan dengan reseptor dan mengakibatkan modifikasi protein reseptor sehingga menghasilkan suatu rangsangan dan perubahan fungsi sel disebut sebagai agonis, sedangkan senyawa yang mampu berikatan dengan reseptor dan kemudian menurunkan atau menghilangkan efek suatu agonis, disebut sebagai antagonis (Lullmann et.al., 2000). Agonisme merupakan sebuah peristiwa interaksi ligand dan reseptor yang mampu menghasilkan respon yang dapat teramati.  Sistem di dalam sel akan memproses rangsangan tersebut dan menghasilkan sebuah respon yang dapat teramati.  Gambar 1 mengilustrasikan secara rinci tentang agonis dan antagonis.  Suatu senyawa obat yang mampu menghasilkan respon maksimum disebut sebagai full agonist, sedangkan jika respon yang dihasilkan merupakan respon sub-maksimum, maka agonis tersebut merupakanpartial agonist.  Senyawa obat bisa saja menghasilkan efek yang berlawanan dengan efek yang diharapkan dan senyawa ini disebut sebagai inverse agonist (Offermanns dan Rosenthal, 2008)

Gambar 1.    Kurva hubungan dosis-respon dari suatu obat yang menghasilkan berbagai efek terhadap sistem fisiologis (Offermanns dan Rosenthal, 2008)

Potensi sebuah agonis digambarkan oleh parameter effective-concentration 50% (EC50), merupakan konsentrasi suatu agonis pada reseptor yang mampu menghasilkan respon sebesar 50% dari respon maksimum.  EC50 dapat dihitung berdasarkan kurva hubungan dosis-respon yang mencerminkan aktivitas intrinsik dari sebuah agonis yang mampu memberikan respon maksimum.  EC50 juga menggambarkan besarnya afinitas agonis terhadap reseptornya (Offermanns dan Rosenthal, 2008). Walaupun dua agonis memiliki efek maksimum yang sama, afinitas agonis terhadap reseptornya bisa digambarkan oleh EC50, sehingga EC50 juga bisa digunakan untuk membandingkan potensi dari dua buah agonis (Brunton et.al., 2008)
Partial agonist akan menghasilkan respon di bawah respon maksimum, walaupun semua sisi aktif reseptor telah diduduki oleh jenis agonis yang satu ini (Lullmann et.al., 2000). Perbedaan respon tertinggi dari beberapa partial agonist menggambarkan perbedaan efikasi dari agonis tersebut, sedangkan perbedaan EC50 dari beberapa partial agonist menggambarkan perbedaan afinitas dari agonis tersebut pada reseptor yang sama (gambar 8a).  Perbedaan efikasi pada beberapa full agonist tidak dapat diamati, hal ini disebabkan karena respon maksimum dari beberapa full agonist tersebut adalah sama.  Perbedaan EC50 untuk full agonist bisa disebabkan karena perbedaan afinitas dan atau perbedaan efikasi (Offermanns dan Rosenthal, 2008). EC50 suatu agonis dapat dihitung dengan membuat persamaan regresi antara logaritma konsentrasi agonis (log [A]) dan % respon.  EC50 juga biasanya disajikan dalam bentuk lain, yaitu pD2 yang merupakan nilai dari minus logaritma EC50.
1.      Antagonisme
Penghambatan efek agonis oleh suatu ligand disebut sebagai peristiwa antagonisme.  Karakteristik dari pengaruh antagonis adalah efeknya yang mampu mengurangi kemampuan agonis dalam menghasilkan respon maksimum. Berdasarkan lokasi ikatan antagonis pada reseptor, maka antagonis dibagi menjadi dua, yaitu antagonis kompetitif dan antagonis non-kompetitif. Antagonis kompetitif menduduki tempat ikatan yang sama dengan agonis pada sisi aktif reseptor sel target, tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan di dalam sel (efficasi zero).  Antagonis non kompetitif dapat menghambat efek suatu agonis dengan cara berikatan di tempat lain pada reseptor yang sama, sehingga akan menghambat fungsi reseptor tersebut, atau bisa diakibatkan karena antagonis memediasi perubahan reaktivitas reseptor terhadap agonis (Offermanns dan Rosenthal, 2008).
Efek sebuah antagonis terhadap kurva hubungan dosis-respon agonis dapat menggambarkan mekanisme interaksi sebuah antagonis dengan reseptor.  Suatu antagonis dapat dikelompokkan sebagai antagonis kompetitif adalah jika dilakukan peningkatan konsentrasi agonis pada reseptor akan menghasilkan respon maksimum kembali setelah diturunkan oleh antagonis.  Dengan adanya pengaruh dari sebuah antagonis, pemberian konsentrasi agonis yang lebih besar akan tetap mampu menghasilkan respon maksimum.  Antagonis kompetitif disebut juga sebagai sebagai “antagonis yang terbalikkan” dengan penambahan konsentrasi agonis (surmountable antagonist).  Jika peningkatan konsentrasi agonis pada reseptor tidak dapat kembali menghasilkan respon maksimum, maka antagonis tersebut bukan merupakan antagonis kompetitif.  Antagonis jenis ini kemudian disebut sebagai “antagonis yang tak terbalikkan” (unsurmountable antagonist) atau irreversible antagonist (Offermanns dan Rosenthal, 2008).
Konsep dasar dari teori reseptor mengenai antagonis adalah berupa gagasan tentang mekanisme molekuler spesifik pada saat interaksi agonis dan antagonis, yaitu interaksi ortosterik dan alosterik.Interaksi ortosterik terjadi bila dua molekul saling berkompetisi untuk menempati satu sisi ikatan yang sama pada sebuah reseptor, sedangkan interaksi alosterik terjadi ketika dua molekul tidak berkompetisi untuk berikatan pada sisi ikatan yang sama, akan tetapi masing-masing memiliki tempat ikatan tersendiri pada reseptor dan keduanya berinteraksi melalui efeknya terhadap protein (perubahan konformasi reseptor).  Pada interaksi ortosterik hanya satu molekul saja yang dapat menduduki reseptor, sedangkan pada interaksi alosterik, kedua molekul dapat menduduki reseptor pada waktu bersamaan.  Kedua mekanisme aksi antagonisme ini memiliki pengaruh terhadap aktivitas farmakologi agonis.
Artikel lengkapnya silahkan download aja fulltext nya (pdf) DOWNLOAD 

1 komentar: