Jumat, 13 Agustus 2010

Penggunaan Aspirin Selama Kehamilan


Yance Anas, S.Farm., Apt
Dosen Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang

DOWNLOAD
Penggunaan aspirin 650 mg 2 x sehari pada kehamilan, terutama pada trimester pertama masih bersifat kontrofersial, dan sebaiknya dihindari karena mungkin akan memiliki resiko teratogenik terhadap janin yang dikandung. Kontrofersi yang terjadi menunjukkan bahwa adanya beberapa laporan yang menyimpulkan terdapat kaitan antara penggunaan aspirin dengan efek samping pada ibu hamil dan perkembangan fetus (Corby, 1978).  Sedangkan pada penelitian selanjutnya, menyimpulkan bahwa penggunaan aspirin selama kehamilan tidak menunjukkan adanya peningkatan resiko kerusakan jantung congenital dan tidak berhubungan dengan gangguan malformasi struktural lainnya (Werler, et.al. 1989).  Penelitian retrospektif dengan desain case-control di Hungaria menyimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya peningkatan resiko beberapa kelainan congenital akibat penggunaan aspirin pada wanita hamil trisemester pertama (Nørgård et al. 2005).  Oleh karena itu, dalam hal resiko penggunaan pada wanita hamil, FDA telah mengelompokkan aspirin sebagai analgetik dengan kategori C, yaitu menunjukkan efek berbahaya dalam penelitian “no well-controlled studies” pada hewan percobaan, tapi tidak termasuk pada manusia (Anonim, 2007).

Analgetik pilihan utama (the first choice) pada wanita hamil trimester pertama adalah parasetamol.  Parasetamol masih menjadi andalan untuk digunakan sebagai analgetik pada serangan migraine akut selama trimester pertama (Fox, et.al. 2005).  Secara umum, paracetamol tidak berkaitan dengan peningkatan resiko cacat kelahiran.  Penggunaan paracetamol dosis tunggal selama kehamilan trimester pertama tidak menunjukkan peningkatan resiko cacat kelahiran mayor (Evidence class : II) (Feldkamp, et al. 2010).

Pilihan terapi migraine dengan obat selama kehamilan sangat terbatas dan sebisa mungkin dihindari.  Obat pilihan utama adalah parasetamol dosis tunggal sehari (Feldkamp, et.al. 2010). Penggunaan analgetik yang dapat diterima untuk serangan akut diantaranya adalah acetaminophen, caffeine dan opioids .  Caffeine hanya akan efektif pada wanita hamil yang tidak mempunyai kebiasaan minum kopi.  Senyawa golongan opioid yang dapat digunakan pada wanita hamil trimester pertama adalah senyawa opioid kategori B (kategori berdasarkan resiko pada wanita hamil), yaitu  morfin dan meperidine (Armon, 2010).


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Nonprescription Products for the Pregnant and Breast-Feeding Patient: Pregnancy. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/563827_3 [Accessed June 25, 2010].

Armon, C., 2010. Neurologic Disease and Pregnancy: eMedicine Neurology. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1149405-overview [Accessed June 25, 2010].

Corby, D.G., 1978. Aspirin in pregnancy: maternal and fetal effects. Pediatrics, 62(5 Pt 2 Suppl), 930-937.

Feldkamp, M.L. et al., 2010. Acetaminophen use in pregnancy and risk of birth defects: findings from the National Birth Defects Prevention Study. Obstetrics and Gynecology, 115(1), 109-115.

Fox, A.W., Diamond, M.L. & Spierings, E.L.H., 2005. Migraine during pregnancy: options for therapy. CNS Drugs, 19(6), 465-481.

Nørgård, B. et al., 2005. Aspirin use during early pregnancy and the risk of congenital abnormalities: a population-based case-control study. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 192(3), 922-923.

Werler, M.M., Mitchell, A.A. & Shapiro, S., 1989. The relation of aspirin use during the first trimester of pregnancy to congenital cardiac defects. The New England Journal of Medicine, 321(24), 1639-1642.
Porsting Terkait

Rabu, 11 Agustus 2010

Adherence, kunci keberhasilan terapi obat

Yance Anas, S.Farm., Apt.
Dosen Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang

 DOWNLOAD

Adherence adalah tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang muncul karena kemampuan pasien dalam memahami instruksi pengobatan dan berbagai upaya atau teknik yang dilakukan oleh pemberi instruksi pengobatan dalam meningkatkan kepatuhan pasien. Berbagai teknik dilakukan untuk menciptakan atau meningkatkan tingkat kepatuhan pasien sehingga dapat menjamin pasien akan menjalani pengobatan sesuai dengan instruksi pengobatan. Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh teknik yang dilakukan dan teknik tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

Compliance dan concordance merupakan beberapa istilah yang mirip dengan adherence. Complience adalah tingkat kepatuhan pasien yang didasari oleh kemampuan pasien dalam memahami instruksi pengobatan yang berasal dari informasi tertulis pada kemasan obat atau yang pertama kali didengar pada saat obat diserahkan kepada pasien. Istilah compliance ini seakan-akan menggambarkan tingkat kepatuhan pasien yang terbentuk karena komunikasi satu arah antara dokter atau pemberi instruksi, atau media informasi dengan pasien dan pasien sendiri tidak terlibat dalam menentukan regiment pengobatan yang akan dijalaninya. Tingkat kepatuhan yang terbentuk sangat ditentukan oleh pasien itu sendiri, dan tanggungjawab terhadap keberhasilan pengobatan juga sangat ditentukan oleh kepatuhan pasien dalam mengikuti instruksi pengobatan.

Concordance adalah tingkat kepatuhan pasien yang tercipta karena adanya ”kolaborasi” yang intensif antara pemberi instruksi pengobatan dengan pasien sebelum dan selama pengobatan berlangsung, terutama dalam hal menentukan regiment pengobatan yang akan dijalani oleh pasien. Sebelum penetapan regiment terapi, dilakukan berbagai konseling dan pemberian informasi secara bertahap mengenai penyakit dan kondisi pasien serta hal-hal yang dapat terjadi selama pengobatan berlangsung, sehingga pasien dapat memahami berbagai hal tentang penyakit yang dialaminya, bagaimana menggunakan obat sesuai dengan regiment yang ditetapkan, apa yang terjadi pada obat dan penyakit ketika regiment pengobatan tidak dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan, bagimana meminimalkan efek samping yang mungkin muncul selama pengobatan atau bagaimana teknik pengobatan yang harus dilakukan ketika efek samping tersebut muncul, dan berbagai hal lainnya yang mendukung terlaksananya pengobatan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam istilah ini, pasien juga memiliki tanggunjawab dalam memonitor hasil pengobatan dengan cara melaporkan kembali tentang respon terapi yang dirasakan selama pengobatan kepada dokter.
DOWNLOAD

Mengapa Pasien Harus Adherence

Penentu efek terapi (efek farmakologi) obat adalah jumlah obat yang sampai pada reseptor (mampu memicu efek farmakologi) dan jumlah reseptor pada tempat aksi obat. Salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah obat yang sampai ke reseptor adalah regiment terapi yang harus dijalani pasien dengan tepat dan benar. Misalnya, obat harus diberikan setiap 8 jam selama 3 hari pengobatan. Regiment ini ditetapkan agar jumlah obat yang mencapai reseptor adalah dalam konsentrasi terapi, dan pasien harus mematuhi regiment ini (adherence). Jika pasien tidak mematuhi regiment, misalnya lupa mengambil salah satu dosis atau terlambat mengkonsumsi obat, maka konsentrasi obat di reseptor pada saat mengkonsumsi dosis selanjutnya akan berada di bawah jendela terapi dan efek obat akan berkurang atau tidak tercapai. Sebaliknya jika pasien mengkonsumsi 2 dosis dalam satu waktu, maka konsentrasi obat yang mencapai reseptor akan melonjak tinggi dan mungkin akan berada di atas konsentrasi efektif maksimal (atau berada di zona toksik). Pada keadaan ini efek samping atupun efek toksik obat akan muncul, terutama untuk obat-obatan dengan indeks terapi sempit. Hal inilah yang mendasari kenapa pasien harus adherence dengan regiment terapi yang harus dijalaninya selama pengobatan.
DOWNLOAD

Upaya yang dapat dilakukan agar adherence dapat tercapai

a. Menerapkan sistem monitoring dosis (MEMs). Sistem ini menggunakan ”kotak dosis” dimana obat disajikan dalam kotak terbagi yang dilengkapi dengan instruksi penggunaan obat dan waktu minum obat. Metode ini hanya cocok untuk pasien rawat inap, sedangkan untuk pasien rawat jalan metode ini sulit untuk dimonitoring, karena tidak ada jaminan kalau obat telah dikonsumsi oleh pasien.
b. Sistem Alarm. Menggunakan alarm untuk mengingatkan pasien untuk minum obat, atau dengan menggunakan telphone (atau SMS) untuk mengingatkan waktu minum obat pasien. Cara ini juga masih memiliki berbagai kelemahan, diantaranya sistem ini akan memakan waktu jika pasien cukup banyak, selain itu juga tidak ada jaminan pasti apakah pasien telah mengkonsumsi obatnya.
c. Sistem Refill (mengisi ulang obat pada saat minum obat). Sistem ini juga hanya cocok untuk pasien rawat inap.
d. Penyederhanaan dosis/regiment. Misalnya dengan memilihkan produk sustained release, sehingga dapat mengurangi frekuensi minum obat dalam satu hari dan sekaligus mengurangi kejenuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.
e. Pemberian informasi obat dan terapi, dilakukan secara langsung melalui konseling dan pemberian informasi tertulis kepada pasien, meliputi informasi penyakit yang diderita serta kondisi tubuh pasien, informasi obat dan teknik pengobatan yang dijalani, dan berbagai hal yang mendukung keberhasilan terapi dengan obat serta meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Pemberian informasi obat dan terapi secara lisan melalui konseling dan informasi tertulis dianggap sebagai GOLD STANDAR dalam meningkatkan adherence. Melakukan konseling secara bertahap diharapkan pasien akan memahami berbagai hal, terutama tentang penyakit yang sedang diderita, resiko apa yang akan dialami jika penyakit tidak teratasi dengan baik, bagaimana pengobatan bisa menyembuhkan penyakit, seperti apa regiment terapi yang harus dijalani, apa yang terjadi jika pasien tidak menjalani terapi dengan obat sesuai instruksi pengobatan, efek samping obat, cara menghindari atau meminimalkan munculnya efek samping obat atau cara menjalani pengobatan. Selain itu, dengan melakukan konseling dan pemberian informasi sederhana secara bertahap kepada pasien akan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap pengobatan yang sedang dijalaninya. Disini pasien akan terlibat aktif dalam pengobatan, karena komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua arah. Pasien dapat memilih dari beberapa pilihan regiment terapi yang ditawarkan. Hasil konseling dan pemberian informasi obat akan meningkatkan pengetahuan pasien terhadap pengobatan yang dijalani dan akan meningkatkan adherence.

Contoh kasus tentang akibat pengobatan yang tidak adherence...
silahkan download file pdf nya ea.... thanks...
DOWNLOAD (PDF)

Jumat, 06 Agustus 2010

Pengobatan HIV/AIDS dengan Terapi Antisense Menggunakan Si-RNA




Pengobatan HIV/AIDS dengan Terapi Antisense Menggunakan Si-RNA
oleh :
Yance Anas

Staff Dosen Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang.

 DOWNLOAD  (File type : PDF 200 Kb)

Salah satu strategi dalam menyembuhkan penderita HIV/AIDS dengan terapi antisense adalah dengan menggunakan short interfering RNA (siRNA).  Prinsip dari terapi ini adalah menggunakan small RNA yang dapat menghambat ekspresi beberapa gen spesifik virus HIV/AIDS, sehingga dapat menghentikan sintesis protein yang digunakan virus untuk bertahan hidup, diantaranya adalah protein yang terlibat dalam replikasi.  Selain itu, terapi dengan siRNA juga dapat menghambat ekspresi gen spesifik pada sintesis protein yang mendukung infeksi virus HIV/AIDS ke dalam sel host.
            siRNA adalah RNA double stranded yang terdiri dari 21 -23 pasangan basa yang mampu membentuk komplement dengan target sekuen spesifik mRNA.  siRNA berasosiasi dengan molekul helikase dan nuclease membentuk kompleks dengan RISC (RNA-inducing silencing compleks) yang akan melepaskan komplemen siRNA membentuk ss-siRNA dan kemudian kompleks ini akan dapat berkomplement dengan mRNA target, sehingga akan memotong mRNA target.  Selanjutnya potongan-potongan mRNA akan didegradasi oleh enzim RNase (Kitabwalla dan Ruprecht, 2002).  Penghancuran mRNA virus HIV/AIDS yang dimediasi oleh siRNA selanjutnya akan menghentikan sintesis protein yang essensial bagi virus untuk melakukan replikasi di dalam sel host dan atau tidak dapat keluar dari sel host, sehingga akan membatasi infeksi pada sel-sel sehat lainnya (skema dapat dilihat pada gambar 1).
Terapi pasien yang terinfeksi virus HIV/AIDS saat ini didasari pada ekspresi beberapa protein penting dalam virus HIV/AIDS yang mendukung infeksi virus ke dalam sel host, replikasi dan pembentukan lapisan capsid, serta protein-protein yang terlibat pada tahap akhir repikasi dan protein yang dibutuhkan untuk proses lisys (keluar dari sel).  Beberapa protein yang mendukung proses infeksi ke dalam host (disebut juga sebagai protein kofaktor selular) diantaranya adalah NF-B, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5.  Berbagai protein ini bisa dijadikan sebagai target dalam terapi HIV/AIDS dengan menggunakan siRNA.  Beberapa hasil penelitian yang direview oleh Reddy, et.al. (2006) menyimpulkan bahwa semua ekspresi gen dalam sintesis protein NF-B, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5 telah berhasil dihambat oleh siRNA dan mengakibatkan penghambatan dalam replikasi virus HIV dalam beberapa cell line manusia, sel limposit T dan  hematopoetics stem cells yang berasal dari magropagh.  Selain itu, siRNA juga telah terbukti menghambat ekspresi gen pada sintesis protein CD4, protein gag dan nef (protein yang terlibat dalam regulasi mRNA virus di dalam sel host).  CD4-siRNA mampu mengurangi ekspresi gen protein CD4 pada sel Magi CCR5 yang terinfeksi virus HIV-1 sebesar 75% (Novina, et.al., 2207).

Gambar 1.  The Human Immunodeviciency Virus (HIV) life cycle and RNA interference (Kitabwalla dan Ruprecht, 2002)

Poliprotein gag (diekspresikan oleh gag gen virus HIV/AIDS) akan dipecah secara proteolitik menjadi polipeptida p24, p17 dan p15 dan akan membentuk struktur inti kapsul virus. Polipeptida p24 berfungsi sebagai pelapis atau kemasan materi genetik virus.  p24-siRNA telah terbukti mengakibatkan degradasi pada region gag mRNA virus, mengakibatkan penghambatan akumulasi genomic virus dan p24.  Akibatnya adalah terjadinya penghambatan replikasi virus HIV-1 dalam sel host.  Dua hari setelah pemberian p24-siRNA terjadi penurunan protein virus HIV-1 sebesar empat kali lipat dibanding kontrol. Protein nef adalah salah satu protein regulasi (non-struktural protein) yang diekspresikan oleh virus HIV-1 sebelum terintegrasi dengan genome host.  Penghambatan ekspresi gen p24 dan nef akan menghambat perbanyakan virus pada tahap awal selama infeksi berlangsung (Novina, et.al., 2002)
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu strategi untuk mengobati penderita HIV/AIDS dengan terapi antisense adalah dengan menggunakan siRNA yang akan mampu menghambat berbagai sintesis protein penting bagi virus HIV/AIDS untuk dapat masuk ke dalam sel host dan melakukan replikasi.  Obat yang digunakan dalam terapi antisense berbasis siRNA haruslah didesain secara spesifik dan hanya akan berkomplement dengan mRNA target, sehingga siRNA hanya akan berikatan dengan mRNA target saja (very high specificity), hal ini akan mengurangi efek toksik yang ditimbulkan sehingga tidak menganggu ekspresi gen normal lainnya dalam tubuh manusia (Luthura, 2006).  DOWNLOAD

Efek Samping siRNA
Walaupun demikian, aplikasi penggunaan siRNA masih menimbulkan efek samping.  Hal ini dikarenakan siRNA sengaja didesain untuk mampu berikatan dengan sekuen spesifik mRNA virus, atau dengan kata lain siRNA adalah komplement dari mRNA spesifik virus HIV/AIDS yang dapat bertindak sebagai antigen...........
untuk kelanjutannya silahkan download aja file pdf nya ea......  DOWNLOAD


DAFTAR PUSTAKA

Jackson A.L, Bartz S.R, dan Schelter J., 2003 Expression profiling reveals off-target gene regulation by RNAi. Nature Biotechnology. 21(6):635–637.

Kitabwalla, M. dan Ruprecht, RNA Interference, N.Eng.J.Med. 347(17) : 1364 – 1367.  DOWNLOAD

Luthra, R., 2006, Aplication of RNAi in Drug Development, Literature Seminar Report, Shelby Hall Room, 151.  DOWNLOAD

Novina, D.C., Murray, M.F., Dykxhoorn, D.M., Baresford, P.J., Riess, J., Lee, S.K., Collman, R.J., Libierman, J., Shankar, P., Sharp, P.A., 2002, siRNA-directed inhibition of HIV-1 infection, Nat.Medicine 8(7) : 681 – 686DOWNLOAD

Semizarov D, Frost L, Sarthy A, Kroeger P, Halbert DN dan Fesik SW., 2003, Specificity of short interfering RNA determined through gene expression signatures. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 100(11):6347–6352.

Reddy, L.S., Sarojamma, V dan Ramakrishna V., 2006, RNAi in Medicine : Curent and Future Prospective, Biotechnology and Molecular Biology Review, 1(4) : 103 - 114. DOWNLOAD

Sioud M dan Sorensen DR., 2003 Cationic liposome-mediated delivery of siRNAs in adult mice. Biochemical and Biophysical Research Communications. 312(4):1220–1225.

Sioud M., 2004, Therapeutic siRNAs. Trends in Pharmacological Sciences. 25(1):22–28.

Siold M. dan Furset, G., 2006, Molecular Basis for the Immunostimulatory Potency of Small Interfering RNAs, J.Biomed.Biotechnol. 2006(4) : 2342 - 2349
Song E, Zhu P, dan Lee S-K., 2005 Antibody mediated in vivo delivery of small interfering RNAs via cell-surface receptors. Nature Biotechnology. 23(6):709–717.

Sabtu, 17 April 2010

SILAHKAN DOWNLOAD EBOOK FARMAKOTERAPI INI. GRATISS

Buat yang lagi mendalami ilmu farmakoterapi... ini ada oleh-oleh dari berpesiar di internet....  ebook farmakoterapi ini dapat anda download langsung dari sini...  (sumber : www.gigapedia.org)


Pharmacotherapy Casebook, 7th edition, 2009.  oleh : Terry L. Schwinghammer and Julia M. Koeler


DOWNLOAD






Pharmacotherapy Handbook, 2009, 7th Edition. Oleh : Barbara G.Wells, Joseph T. Dipiro, Terry L. Schwinghammer and Cecily V. Dipiro   


Pocket Guide to Pharmacotherapy, 2009; Oleh : Jhon Papadopoulus, Humana Press

Pharmacotherapy in Primere Care, 2009; oleh : William D. Linn, Marion R. Wofford, Mary Elizabeth O'keefe and L. Michael Posey

Quick Reference to Cardiovascular Pharmacotherapy, 2003; Oleh : Judy W.M. Cheng; CRC Press

Pharmacotherapy of Diabetes : New Development, Imroving Life and Prognosis in Diabetic Patiens, 2007; Oleh : Carl Eric Mogensen, Springer

Selamat menyedot spuasnya...........


Sekedar iklan ya....
mohon di klik salah satu link untuk mensupport blog ini.... trims b4......





Halaman Terkait :





Jumat, 16 April 2010

CATATAN KULIAH KIMIA ORGANIK

BELAJAR KIMIA ORGANIK DENGAN METODE IQRO'
Oleh : DR. Sardjiman, MS., Apt.  (Universitas Gadjah Mada)


PENDAHULUAN
Manusia hidup tidak lepas dari senyawa organik. Kalimat ini muncul sekitar tahun 1850. Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, jelas merupakan senyawa organik. Dengan mempelajari kimia organik berarti kita belajar pula tentang jasad diri manusia, tumbuhan, hewan atau mikroorganisme. Dengan demikian akan sadarlah kita bahwa ilmu yang amat luas terkandung dalam makhluk penghuni planet ini. Semakin mengerti serta mengetahui senyawa organik yang ada dalam tubuh manusia, akan semakin sadarlah kita pada adanya pengatur jagad raya ini. Siapa yang menciptakan ilmu itu, siapa yang empunya ? Alloh lah jawabannya. Dalam pelajaran kimia organik ada dua hal yang penting yang perlu kita ketahui yaitu Kimia Organik Kwalitatip dan Kimia Organik Kuantitatip. Pengertian kwalitatip disini banyak didasarkan pada pengamatan secara intuisi (dapat dikatakan seolah memakai perasaan). Pengertian kuantitatip didasarkan pada perhitungan, yang berupa angka-angka yang merupakan pendukung utama yaitu ilmu fisika dan matematika.

Kimia Organik merupakan matakuliah yang amat sangat penting bagi mahasiswa farmasi. Obat ataupun senyawa yang banyak berhubungan dengan kehidupan umat manusia utamanya merupakan senyawa organik. Satu-satunya profesi yang bertanggungjawab untuk mempelajari bagaimana cara menemukan obat, membuat obat, meracik obat, bagaimana perjalanan obat atau nasib obat serta efek samping obat dan mekanisme reaksi obat dalam tubuh manusia adalah farmasiapoteker. Kimia Organik merupakan matakuliah yang menjadi dasar ilmu-ilmu pada semester lanjut, misalnya kimia sintesis obat, spektroskopi, analisis obat baik kwalitatip atau kuantitatip, bagaimana hubungan antara struktur dan aktivitas biologis dan bagaimana interaksi obat dengan reseptor.

Elektronegativitas

Elektronegativitas : Suatu ukuran tendensi/kecenderungan/kemampuan suatu atom atau kumpulan atom untuk menarik elektron terluarnya baik yang digunakan untuk ikatan atau elektron bebas mendekat ke atom atau kumpulan atom tersebut sehingga atom atau kumpulan atom tersebut cenderung bermuatan negatip.

Elektronegativitas sangat berguna untuk meramalkan dan menjelaskan reaktivitas kimia.

Energi ionisasi : ukuran bagi mudah tidaknya suatu atom berubah menjadi ion positip. Afinitas elektron : besarnya energi yang dilepaskan apabila suatu atom menangkap sebuah elektron.

Elektronegativitas dipengaruhi oleh jumlah proton didalam inti atom dan oleh jumlah  kulit elektron. Jumlah proton makin naik berarti muatan positip inti makin besar, oleh karena itu suatu tarikan meningkat. Dari kiri kekanan elektronegativitas makin naik.
Tabel Periodik :

Elektronegativitas menurun dari atas kebawah dalam tabel periodik, dikarenakan jarijari / kulit elektron makin banyak sehingga elektron terluarnya yang terlibat dalam pembentukan ikatan makin jauh dari inti, walau jumlah proton makin banyak pula. Pengharuh penambahan kulit lebih berpengaruh daripada penambahan jumlah proton.

DOWNLOAD (PDF/2,01 MB)
Paling elektronegatip adalah paling kanan dan paling atas.
Paling elektropositip adalah paling kiri dan paling bawah.

Dua hal penting yang akan kita pelajari dalam tahap awal pelajaran kimia organik yaitu pembentukan ikatan dan pemutusan ikatan. Bagaimana suatu ikatan kimia itu terjadi dan terputus. Pendekatan yang kita pakai adalah pendekatan secara kwalitatip dengan menggunakan teori ikatan valensi.

Teori Ikatan Valensi Teori ikatan valensi menerangkan bahwa atom-atom yang berada di periode dua dalam tabel periodik pada proses pembentukan ikatan, sebelumnya telah mengadakan pembastaran (hibridisasi) lebih dahulu, dapat berhibridisasi sp3, sp2 ataupun sp dengan bentuk tiga dimensi yang masing-masing khas bentuknya. Hibrida sp3 bentuknya tetrahidral (seperti piramid dimana atomnya berada ditengahtengah atau dipusat piramid), sp2 trigonal bidang datar sedangkan sp membentuk garis lurus. Ikatan-ikatan yang akan kita pelajari antara lain ikatan sigma atau kovalen, phi, semipolar (kovalen koordinasi), ikatan pi “ back bonding “, ikatan hidrogen dll. Dalam pembentukan ikatan tersebut tidak lepas dari peranan elektron. Elektron merupakan suatu materi yang mempunyai masa sebesar 0,911 x 10 –27 gram, penyebab muatan negatip, selalu bergetar sepanjang masa, berhenti bergetar saat dunia ini kiamat. Bentuk elektron seperti bola tolak peluru yang masif. Ada dua gerakan utama yang dilakukan elektron yaitu revolusi dan rotasi. Gerakan revolusi akan menghasilkan orbital elektron (orbital atom) sedangkan rotasi menghasilkan spin dan medan magnit. Rotasi kekanan mempunyai spin positip kekiri negatip. Rotasi kekiri menimbulkan medan magnit negatip, kekanan positip sehingga elektron walaupun bermuatan negatip dapat berpasangan membentuk suatu pasangan sehingga menghasilkan suatu ikatan. Atom-atom dalam tabel periodik disusun dalam kondisi stasioner (“Ground State). Pada periode I dan II dalam tabel periodik ada dua bentuk orbital yaitu orbital s dan p. Orbital s bentuknya seperti bola (elektron kluyurannya berada dikulit bola)
 
      

Paling elektronegatip adalah paling kanan dan paling atas.
Paling elektropositip adalah paling kiri dan paling bawah.

Dua hal penting yang akan kita pelajari dalam tahap awal pelajaran kimia organik yaitu pembentukan ikatan dan pemutusan ikatan. Bagaimana suatu ikatan kimia itu terjadi dan terputus. Pendekatan yang kita pakai adalah pendekatan secara kwalitatip dengan menggunakan teori ikatan valensi.

DOWNLOAD (PDF/2,01 MB)

Teori Ikatan Valensi
Teori ikatan valensi menerangkan bahwa atom-atom yang berada di periode dua dalam tabel periodik pada proses pembentukan ikatan, sebelumnya telah mengadakan pembastaran (hibridisasi) lebih dahulu, dapat berhibridisasi sp3, sp2 ataupun sp dengan bentuk tiga dimensi yang masing-masing khas bentuknya. Hibrida sp3 bentuknya tetrahidral (seperti piramid dimana atomnya berada ditengahtengah atau dipusat piramid), sp2 trigonal bidang datar sedangkan sp membentuk garis lurus. Ikatan-ikatan yang akan kita pelajari antara lain ikatan sigma ( ) atau kovalen, pi (), semipolar (kovalen koordinasi), ikatan pi “ back bonding “, ikatan hidrogen dll. Dalam pembentukan ikatan tersebut tidak lepas dari peranan elektron. Elektron merupakan suatu materi yang mempunyai masa sebesar 0,911 x 10 –27 gram, penyebab muatan negatip, selalu bergetar sepanjang masa, berhenti bergetar saat dunia ini kiamat. Bentuk elektron seperti bola tolak peluru yang masif. Ada dua gerakan utama yang dilakukan elektron yaitu revolusi dan rotasi. Gerakan revolusi akan menghasilkan orbital elektron (orbital atom) sedangkan rotasi menghasilkan spin dan medan magnit. Rotasi kekanan mempunyai spin positip kekiri negatip. Rotasi kekiri menimbulkan medan magnit negatip, kekanan positip sehingga elektron walaupun bermuatan negatip dapat berpasangan membentuk suatu pasangan sehingga menghasilkan suatu ikatan. Atom-atom dalam tabel periodik disusun dalam kondisi stasioner (“Ground State). Pada periode I dan II dalam tabel periodik ada dua bentuk orbital yaitu orbital s dan p. Orbital s bentuknya seperti bola (elektron kluyurannya berada dikulit bola)
sedangkan orbital p (elektron kluyurannya di kulit dua “Thoet-thoet” balon yang keduanya belum ditiup kuat-kuat yang dihubungkan satu sama lain), + tanda positip dan negatip adalah simbol amplitudo bukan muatan. Seperti angka 8 yang pipih. Elektron berada dikulit elektron pada tingkat energi tertentu.
Bagaimana dan berada dikulit mana elektron tinggal, marilah kita pelajari tingkat energi orbital atom. Atom utama yang sering menjadi penyusun senyawa organik adalah C, H, O, N, S, P dan halogen. Atom-atom tersebut tersusun pada suatu tabel yang dinamai tabel periodik. Atom-atom tersebut tersusun pada tabel periodik dalam kondisi tingkat energi dasar ( ground state/ stasioner/ kondisi tidak tereksitasi/ kondisi tidak reaktip). Adapun tingkat energi tersebut adalah sebagai berikut : Cara menggambarkan urutan tingkat energi orbital atom atau menyusun elektron dalam kulitnya dari yang terendah energinya berturut-turut keatas dari kulit 1s ke atas.




Tingkat Energi Orbital/Elektron

Beberapa unsur penyusun senyawa organik : Atom-atom C, H, O, N, S, P, dan halogen terletak pada periode 1,2 dan 3 dalam tabel periodik berikut ini.
 DOWNLOAD (PDF/ 2,01 MB)


Atom dalam tabel periodik mempunyai nomor atom tertentu yang merupakan jumlah elektron yang sama besarnya dengan jumlah proton yang ada didalam inti atom. Proton inilah yang menyebabkan adanya tarikan elektron dikulit oleh inti atom, sehingga timbul istilah elektronegativitas.

Definisi elektronegativitas ialah tendensi suatu atom atau kumpulan atom untuk menarik elektron terluarnya baik elektron ikatan ataupun elektron bebas mendekat inti atom ataupun kumpulan atom sehingga atom atau kumpulan atom tersebut cenderung bermuatan negatip. Cara menentukan / menyusun elektron pada tingkat energi atau di kulit mana elektron itu berada harus mengikuti ketiga aturan hukum pengisian orbital atom tersebut dibawah ini.

Hukum Pengisian Orbital Atom oleh Elektron
1. Prinsip AUFBAU : Orbital yang tingkat energinya rendah diisi terlebih dahulu
2. Prinsip EKSKLUSI PAULI
Dalam satu atom tidak boleh ada dua elektron yang mempunyai keempat bilangan kwantum sama. Kalau dua elektron mempunyai bilangan-bilangan kwantum utama, azimut dan magnetik sama, maka spinnya harus berlawanan. Dua elektron semacam ini disebut berpasangan. Jadi hanya ada dua elektron yang dapat menempati satu orbital dengan syarat kedua elektron punya spin yang berlawanan.
3. Kaidah Hund
Pengisian orbital-orbital yang energinya sama, elektron-elektron tidak membentuk pasangan lebih dahulu, sebelum masing-masing orbital yang setingkat itu terisi sebuah elektron.
Contoh : atom-atom pada perioda dua mempunyai kulit utama dua buah yaitu kulit K dan L yang dapat diperoleh dengan menggunakan rumus bilangan kwantum utama. Kulit L mempunyai dua subkulit yaitu kulit 2s dan 2p diperoleh dengan menggunakan rumus bilangan kwantum azimut. Kulit 2p mempunyai tiga subsubkulit yaitu 2px, 2py dan 2pz diperoleh dengan menggunakan rumus bilangan kwantum magnetik.


Susunan elektron dalam suatu tingkat energi atom-atom dalam tabel periodik dinamai
konfigurasi elektron.

 karena CATATAN KULIAH KIMIA ORGANIK ini terdiri dari 51 halaman, lebih baik anda mendownload versi PDF nya....
DOWNLOAD  (PDF/ 2,01 MB)


Selasa, 06 April 2010

Pengobatan Toksoplasmosis


Telah banyak obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi infeksi Toxoplasma gondii, diantaranya adalah spiramicin, erythromycin dan azithromicin.  Karena sering terjadinya kekambuhan pada infeksi parasit ini, pengobatan toxoplasmosis ini menjadi sulit dituntaskan [10].  Standar terapi untuk toksoplasmosis adalah kombinasi pyrimethamine dan sulfadiazine atau clindamicin [11].  Sulfonamid menghambat asam dihidrofolat dan pyrimethamine menghambat dyhidrofolate reductase pada sintesis purine  [12]; [13]. Cara kerja sulfonamid dan pyrimethamine dapat dilihat pada gambar 3. 
Akan tetapi, kombinasi ini seringkali berhubungan dengan efek samping yang parah seperti reaksi alergi dan supresi sum-sum tulang punggung [14]; [15]; [16].  Salah satu obat lainnya adalah seperti azothrimicin adalah toksik untuk wanita hamil dan pasien anak-anak dan tidak dapat digunakan dalam terapi jangka panjang [2]. Banyak peneliti kemudian berusaha mencari senyawa obat yang mempunyai tingkat toksik yang rendah dalam mengobati infeksi toxoplasma gondii ini [17].
DAFTAR PUSTAKA

M.W. Louis and K. Kim, Toxoplasma gondii, The Model Ampicomplexan, Prespective and Methods,  London: Academic Press is an imprint of Elsevier, 2007.

M.H. el Kouni, “Adenosine Metabolism in Toxoplasma gondii: Potential Targets for Chemotherapy,” Current Pharmaceutical Design,  vol. 13, Feb. 2007, pp. 581-597.
K. Chirgwin, R. Hafner, C. Leport, J. Remington, J. Andersen, E.M. Bosler, C. Roque, N. Rajicic, V. McAuliffe, P. Morlat, D.T. Jayaweera, J. Vilde, and B.J. Luft, “Randomized phase II trial of atovaquone with pyrimethamine or sulfadiazine for treatment of toxoplasmic encephalitis in patients with acquired immunodeficiency syndrome: ACTG 237/ANRS 039 Study. AIDS Clinical Trials Group 237/Agence Nationale de Recherche sur le SIDA, Essai 039,” Clinical Infectious Diseases: An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America,  vol. 34, May. 2002, pp. 1243-1250.
D. Mack and R. McLeod, “New micromethod to study the effect of antimicrobial agents on Toxoplasma gondii: comparision of sulfadoxine and sulfadiazine individually and in combination with pyrimethamine and study of clindamycin, metronidazole, and cyclosporin A.,” Antimicrobs.l Agents Chemother,  vol. 26, 1984, pp. 26-30.
J. Alder, T. Hutch, A. Jonathan, and Moelbroek Clement, “Treatment of experimental Toxoplasma gondii Infection by clarithromycin-based combination therapy with minocycline or pyrimethamine.,” J Acquir Immune Defic Sindr,  vol. 7, 1994, pp. 1141-1148.
S. Porter and M. Sande, “Toxoplasmosis of the central nervous system in the acquired immunodeficiency syndrome,” N Engl J Med.,  vol. 18, Mai. 1993, p. 1353.
M.B. Martin, J.S. Grimley, J.C. Lewis, H.T. Heath, B.N. Bailey, H. Kendrick, V. Yardley, A. Caldera, R. Lira, J.A. Urbina, S.N. Moreno, R. Docampo, S.L. Croft, and E. Oldfield, “Bisphosphonates inhibit the growth of Trypanosoma brucei, Trypanosoma cruzi, Leishmania donovani, Toxoplasma gondii, and Plasmodium falciparum: a potential route to chemotherapy,” Journal of Medicinal Chemistry,  vol. 44, Mar. 2001, pp. 909-916.
C. Renold, A. Sugar, J.P. Chave, L. Perrin, J. Delavelle, G. Pizzolato, P. Burkhard, V. Gabriel, and B. Hirschel, “Toxoplasma encephalitis in patients with the acquired immunodeficiency syndrome,” Medicine,  vol. 71, Jul. 1992, pp. 224-239.
S. Chen, L. Wu, X. Jiang, Y. Feng, and J. Cao, “Anti-Toxoplasma gondii activity of GAS in vitro,” Journal of Ethnopharmacology,  vol. 118, Aug. 2008, pp. 503-507.

Senin, 05 April 2010

Toksoplasma gondii dan Toksoplasmosis

Infeksi oleh parasit protozoa Toxoplasma gondii secara luas terjadi pada manusia dan hewan lainnya di seluruh benua dan keadaan ini disebut dengan toxoplasmosis.  Lebih dari 5 – 20 % populasi dewasa di dunia terinfeksi parasit ini [1].Toksoplama gondii adalah parasit intrasellular yang menginfeksi hampir seluruh hewan berdarah panas.  Akibat dari infeksi parasit ini dapat menyebabkan manifestasi klinis yang cukup luas pada manusia, mulai dari keguguran (abortus) dan infeksi congenital pada penyakit mata dan encephalitis yang dapat berakibat fatal.  Kebanyakan dari keadaan toxoplasmosis ini bersifat avirulent, menghasilkan infeksi kronis dengan tidak menampakkan gejala apapun, oleh karena itu, infeksi parasit ini dapat mengakibatkan toxoplamosis akut yang mematikan [2]. Infeksi toxoplasma gondii pada seseorang dengan infeksi HIV dan atau mengalami ganggunan immunosupresi bisa mengalami komplikasi yang serius, seperti nekrosis encephalitis, pneumonitis dan myocarditis[3]; [4]; [5] bahkan kematian [6]). Toxoplasma gondii juga dapat menyebabkan keguguran pada wanita hamil yang terinfeksi parasit ini, atau congenital toxoplasmosis [7].
Kasus toxoplasmosis pertama manusia berawal dari laporan kelahiran seorang bayi perempuan dengan keadaan hydrocephalus pada tahun 1940.  Bayi perempuan mengalami convulsi-seizure pada  3 hari setelah kelahiran, dan lesi terlihat pada makuola kedua bola mata melalui opthalmoscope.  Bayi tersebut meninggal pada usia 1 bulan dan kemudian dilakukan autopsy. Pada beberapa sample biologis dari bayi perempuan tersebut diambil sebagai sample untuk dilakukan pengujian.  Toksoplasma gondii yang berada dalam intrasellular dan yang bebas ditemukan pada jaringan yang mengalami luka karena encephalomeilitis dan renitis [2].
Jaringan cortex cerebral dan tulang belakang bayi perempuan tadi dihancurkan dan dihomogenkan, kemudian diinjeksikan pada kelinci dan tikus.  Toxoplasma gondii telah berada pada lesi syaraf kedua hewan ini, kemudian hewan-hewan ini mengalami ensefalitis. Toxoplasma gondii dari hewan-hewan ini telah berhasil ditularkan ke tikus lain [2].
Infeksi sistemik toxoplasma gondii dilaporkan pertamakali pada tahun 1940, encephalitis yang diakibatkan oleh infeksi toxoplasma gondii dilaporkan oleh [8].  Manifestasi klinis lainnya adalah lymphadenopathy dimana symptom ini merupakan gejala kunci dari infeksi toxoplasma gondii [2].  Replikasi Toksoplasma gondii akan memicu respon inflamasi yang kuat akan mengakibatkan destruksi jaringan secara besar-besaran sehingga akan manimbulkan manifestasi klinik yang parah [9].
Ada empat bentuk invasif dari T. gondii, yaitu tachyzoite, bradyzoite, merozoite, dan sporozoite. Tachyzoites dan bradyzoites terkait dengan tuan rumah menengah, dan merozoites dan sporozoites dengan host definitif. Tachyzoites dan merozoites bertanggung jawab untuk perbanyakan atau perkembangbiakkan dalam suatu host, sementara bradyzoites dan sporozoites mampu mentransmisi lingkungan host baru............
untuk artikel selengkapnya silahkan download file pdf nya ya......

Minggu, 04 April 2010

Toksisitas dan Efek Samping Sulfonamid


Sulfonamid mempunyai potensi untuk menyebabkan berbagai reaksi yang tidak diinginkan, termasuk gangguan saluran kemih, gangguan haemopoietik, porfiria dan reaksi hipersensitivitas. Ketika digunakan dalam dosis besar, sulfonamida dapat menyebabkan reaksi alergi yang cukup kuat. Dua reaksi alergi yang paling serius adalah sindrom Stevens-Johnson dan Lyell Sindrom (juga dikenal sebagai epidermal toksik nekrolisis).  reaksi toksisitas sulfonamid yang utama adalah reaksi alergi (tipe I, II, III dan IV).


Alergi dapat terjadi bila seseorang mengalami suatu reaksi hipersensitivitas yang sangat spesifik terhadap suatu zat atau senyawa tertentu. Alergi atau reaksi hipersentivitas dapat berupa reaksi lokal pada organ tertentu atau menyeluruh (efek sistemik). Berdasarkan waktu timbulnya  reaksi alergi dapat dibedakan  menjadi akut, sub akut dan kronis atau terjadi langsung dan reaksi yang tertunda. 
Alergi obat merupakan alergi yang disebabkan oleh suatu obat selama proses pengobatan. Reaksi tersebut terjadi dengan diperantarai oleh IgE setelah seseorang terpapar oleh suatu obat secara berulang kali. Seseorang yang memiliki riwayat alergi, maka reaksi tersebut dapat timbul kembali apabila terpapar dengan obat yang sama sekalipun pemberian dengan dosis yang lebih rendah. Berbagai gejala klinik sering menyertai reaksi alergi, baik dari yang ringan sampai dengan yang berat.
Secara umum terjadinya reaksi alergi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
a.       Faktor obat
      Kapasitas proses induksi untuk terjadinya respon imum tergantung pada kapasitas kereaktifan dari obat atau metabolitnya untuk membentuk ikatan dengan jaringan protein kemudian memilki fungsi sebagai imunogen.

b.      Faktor pasien
1.     Umur : berdasarkan umur, maka reaksi alergi lebih banyak ditemukan pada pasien yang berusia lanjut, hal ini kemungkinan disebabkan berkembangnya defisiensi imunologi.
2.      Genetik:  terjadinya reaksi hipersentivitas umumnya hanya ditemukan pada beberapa pasien saja, hal ini kemungkinan disebabkan adanya hubungan antara reaksi hipersensitivitas obat dengan regulasi genetik. 

Mekanisme Alergi Sulfonamida
Mekanisme terjadinya alergi sulfonamid belum sepenuhnya diketahui, tetapi beberapa prinsip sudah dapat dijelaskan. Istilah Sulfonamide diberlakukan untuk suatu kelompok sulfon yang terhubung dengan kelompok amina. Semua antibiotik sulfonamida adalah arilamin...........................
untuk membaca lanjutan artikel ini (Free Full Text Artikel), silahkan download versi PDF nya ya.....
DOWNLOAD (File PDF 400 kb)

Sabtu, 03 April 2010

Sulfonamid dan mekanisme kerja sufonamid

Sulfonamida
Obat golongan sulfa adalah penghambat sintesis asam folat. Sulfonamida digunakan secara luas untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif, bakteri gram negatif tertentu, beberapa jamur, dan protozoa. Golongan obat ini efektif terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti Actianomycetes sp, Bacillus antrachis, Brucella sp, E.coli, Haemophylus ifluenzae.


Pengelompokan Sulfonamida
Berdasarkan masa kerjanya sulfonamida sistemik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu sulfonamida dengan masa kerja pendek, sulfonamida dengan masa kerja sedang, sulfonamida dengan masa kerja panjang.
a. Sulfonamida dengan masa kerja pendek; Waktu paruh lebih kecil dari 10 jam. Contoh: sulfetidol, sulfamerazin, sulfametazin, sulfatiazol, sulfasomidin dan sulfaksasol.
b. Saulfonamida dengan masa kerja sedang; waktu paroh 10 – 24 jam
Contoh: sulfadiazin, sulfametoksasol dan sulfafenazol
c. Sulfonamida dengan masa kerja panjang; waktu paroh lebih besar 24 jam
Contoh: sulfadoksin, sulfalen, sulfametoksipiridazin dan sulfametoksidiazin.

Mekanisme Kerja Sulfonamida
Suflonamida mempunyai struktur yang mirip dengan asam para aminobenzoat (PABA), suatu asam yang diperlukan untuk biosintesis koenzim asam dihidropteroat dalam tubuh bakteri atau protozoa. Karena strukturnya mirip asam para aminobenzoat (PABA) (Gambar 1.), sulfonamida berkompetisi dengan subsrat ini dalam proses biosintesis asam dihidropteroat, sehingga melindungi sintesis asam folat dan pembentukan karbonnya yang membawa kofaktor. Hal ini menghilangkan kofaktor esensial sel terhadap purin, pirimidin dan sintesis asam amino.

untuk artikel lengkapnya silahkan download versi pdf nya....
DOWNLOAD (PDF. 130 kb)

Selasa, 02 Februari 2010

JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR MATAKULIAH TOKSIKOLOGI DASAR UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG TA. 2009/2010






Setelah satu bulan ga nulis akhirnya bisa nulis lagi….  Berhubung kemaren lagi ujian S2 di UGM dan dilanjutkan dengan ujian di Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang (unwahas) selama 2 minggu. Tapi bingung mau nulis apa…
Kali ini yang tak pos kan adalah jawaban ujian akhir mata kuliah toksikologi dasar di Fakultas Farmasi Unwahas… tulisan ini saya poskan berdasarkan keprihatinan atas jawaban ujian mahasiswa… moga-moga tulisan ini bisa menjawab rasa penasaran mahasiswa fakultas farmasi pada waktu ujian kemaren….

1.      Pengaruh penyakit saluran cerna terhadap toksisitas senyawa toksik.

Penyakit saluran cerna, terutama penyakit di usus halus seperti radang usus atau borok usus akan membuat fungsi usus halus sebagai tempat absorpsi akan terganggu, dan hal ini tentu saja akan berpengaruh pada proses absorpsi racun di saluran cerna.  Sebagai konsekuensinya adalah kadar racun di dalam darah dan reseptor (biofase) akan berkurang yang dikarenakan proses absorpsi racun juga berkurang.  Hal ini tentu saja akan mengurangi intensitas efek toksik (toksisitas) senyawa kimia.

2.  Pengaruh umur terhadap toksisitas senyawa.

Umur merupakan salah satu factor fisiologis yang dapat berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia.  Usia balita dan anak-anak (0 – 16 tahun) mempunyai kondisi fisiologis dan komposisi tubuh yang berbeda dengan orang dewasa (16 – 60 tahun).  Begitu juga dengan sistem organ (terutama hati dan ginjal) serta sistem enzim yang terlibat dalam proses metabolisme racun, dimana pada balita dan anak-anak belum sesempurna orang dewasa.  Hal ini akan berpengaruh terhadap toksisitas senyawa kimia.  Umumnya toksisitas senyawa kimia akan lebih tinggi pada balita dan anak-anak jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Tingkat umur lansia (> 60 tahun) mempunyai kondisi fisiologis yang sudah mulai menurun jika dibandingkan dengan orang dewasa, seperti fungsi hati dan ginjal sebagai organ metabolisme dan eksresi sudah mengalami kemunduran fungsi.  Sebagai konsekuensi dari kedua keadaan di atas adalah obat / racun akan lama berada dalam peredaran darah atau reseptor dan relative lebih lambat dikeluarkan dari tubuh melaui organ eksresi.  Hal ini tentu saja akan meningkatkan toksisitas senyawa kimia bila dibandingkan dengan orang dewasa sehat.

3.      Kriteria toksisitas senyawa toksik beserta parameter LD50 nya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


4.    Strategi terapi yang bisa ditangani dalam menangaini kasus keracunan
Strategi pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan terapi supportif (menaikkan nilai batas ambang keracunan).  Terapi suportif bertujuan untuk menstabilkan keadaan pasien sehingga menjauhkan pasien dari keadaan gawat dan kematian.  Tindakan terapi suportif yang dapat dilakukan diantaranya adalah oksigenasi untuk memperbaiki kondisi pernafasan, terapi cairan dengan infus, pemeriksaan tanda-tanda vital dan lain sebagainya.  Strategi kedua adalah dengan memilih satu diantara 2 stategi dibawah ini :

a.       Menggeser kurva absorpsi atau distribusi ke arah kanan, yang berarti tindakan ini ditujukan untuk menghambat atau memperlambat absorpsi
b.      Menggeser kurva eliminasi ke arah kiri yang berarti tindakan ini ditujukan untuk mempercepat eliminasi racun keluar tubuh.

Dua strategi di atas dilakukan berdasarkan estimasi sejauh mana peredaran racun di dalam tubuh.  Jika diperkirakan racun telah melampaui fase absorpsi dan distribusi, maka strategi yang dipilih adalah menggeser kurva eliminasi kearah kiri dengan mempercepat metabolisme dan eksresi melalui tindakan khas atau tindakan tidak khas dengan menggunakan antidot tertentu.