Jumat, 13 Agustus 2010

Penggunaan Aspirin Selama Kehamilan


Yance Anas, S.Farm., Apt
Dosen Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang

DOWNLOAD
Penggunaan aspirin 650 mg 2 x sehari pada kehamilan, terutama pada trimester pertama masih bersifat kontrofersial, dan sebaiknya dihindari karena mungkin akan memiliki resiko teratogenik terhadap janin yang dikandung. Kontrofersi yang terjadi menunjukkan bahwa adanya beberapa laporan yang menyimpulkan terdapat kaitan antara penggunaan aspirin dengan efek samping pada ibu hamil dan perkembangan fetus (Corby, 1978).  Sedangkan pada penelitian selanjutnya, menyimpulkan bahwa penggunaan aspirin selama kehamilan tidak menunjukkan adanya peningkatan resiko kerusakan jantung congenital dan tidak berhubungan dengan gangguan malformasi struktural lainnya (Werler, et.al. 1989).  Penelitian retrospektif dengan desain case-control di Hungaria menyimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya peningkatan resiko beberapa kelainan congenital akibat penggunaan aspirin pada wanita hamil trisemester pertama (Nørgård et al. 2005).  Oleh karena itu, dalam hal resiko penggunaan pada wanita hamil, FDA telah mengelompokkan aspirin sebagai analgetik dengan kategori C, yaitu menunjukkan efek berbahaya dalam penelitian “no well-controlled studies” pada hewan percobaan, tapi tidak termasuk pada manusia (Anonim, 2007).

Analgetik pilihan utama (the first choice) pada wanita hamil trimester pertama adalah parasetamol.  Parasetamol masih menjadi andalan untuk digunakan sebagai analgetik pada serangan migraine akut selama trimester pertama (Fox, et.al. 2005).  Secara umum, paracetamol tidak berkaitan dengan peningkatan resiko cacat kelahiran.  Penggunaan paracetamol dosis tunggal selama kehamilan trimester pertama tidak menunjukkan peningkatan resiko cacat kelahiran mayor (Evidence class : II) (Feldkamp, et al. 2010).

Pilihan terapi migraine dengan obat selama kehamilan sangat terbatas dan sebisa mungkin dihindari.  Obat pilihan utama adalah parasetamol dosis tunggal sehari (Feldkamp, et.al. 2010). Penggunaan analgetik yang dapat diterima untuk serangan akut diantaranya adalah acetaminophen, caffeine dan opioids .  Caffeine hanya akan efektif pada wanita hamil yang tidak mempunyai kebiasaan minum kopi.  Senyawa golongan opioid yang dapat digunakan pada wanita hamil trimester pertama adalah senyawa opioid kategori B (kategori berdasarkan resiko pada wanita hamil), yaitu  morfin dan meperidine (Armon, 2010).


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Nonprescription Products for the Pregnant and Breast-Feeding Patient: Pregnancy. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/563827_3 [Accessed June 25, 2010].

Armon, C., 2010. Neurologic Disease and Pregnancy: eMedicine Neurology. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1149405-overview [Accessed June 25, 2010].

Corby, D.G., 1978. Aspirin in pregnancy: maternal and fetal effects. Pediatrics, 62(5 Pt 2 Suppl), 930-937.

Feldkamp, M.L. et al., 2010. Acetaminophen use in pregnancy and risk of birth defects: findings from the National Birth Defects Prevention Study. Obstetrics and Gynecology, 115(1), 109-115.

Fox, A.W., Diamond, M.L. & Spierings, E.L.H., 2005. Migraine during pregnancy: options for therapy. CNS Drugs, 19(6), 465-481.

Nørgård, B. et al., 2005. Aspirin use during early pregnancy and the risk of congenital abnormalities: a population-based case-control study. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 192(3), 922-923.

Werler, M.M., Mitchell, A.A. & Shapiro, S., 1989. The relation of aspirin use during the first trimester of pregnancy to congenital cardiac defects. The New England Journal of Medicine, 321(24), 1639-1642.
Porsting Terkait

Rabu, 11 Agustus 2010

Adherence, kunci keberhasilan terapi obat

Yance Anas, S.Farm., Apt.
Dosen Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang

 DOWNLOAD

Adherence adalah tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang muncul karena kemampuan pasien dalam memahami instruksi pengobatan dan berbagai upaya atau teknik yang dilakukan oleh pemberi instruksi pengobatan dalam meningkatkan kepatuhan pasien. Berbagai teknik dilakukan untuk menciptakan atau meningkatkan tingkat kepatuhan pasien sehingga dapat menjamin pasien akan menjalani pengobatan sesuai dengan instruksi pengobatan. Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh teknik yang dilakukan dan teknik tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

Compliance dan concordance merupakan beberapa istilah yang mirip dengan adherence. Complience adalah tingkat kepatuhan pasien yang didasari oleh kemampuan pasien dalam memahami instruksi pengobatan yang berasal dari informasi tertulis pada kemasan obat atau yang pertama kali didengar pada saat obat diserahkan kepada pasien. Istilah compliance ini seakan-akan menggambarkan tingkat kepatuhan pasien yang terbentuk karena komunikasi satu arah antara dokter atau pemberi instruksi, atau media informasi dengan pasien dan pasien sendiri tidak terlibat dalam menentukan regiment pengobatan yang akan dijalaninya. Tingkat kepatuhan yang terbentuk sangat ditentukan oleh pasien itu sendiri, dan tanggungjawab terhadap keberhasilan pengobatan juga sangat ditentukan oleh kepatuhan pasien dalam mengikuti instruksi pengobatan.

Concordance adalah tingkat kepatuhan pasien yang tercipta karena adanya ”kolaborasi” yang intensif antara pemberi instruksi pengobatan dengan pasien sebelum dan selama pengobatan berlangsung, terutama dalam hal menentukan regiment pengobatan yang akan dijalani oleh pasien. Sebelum penetapan regiment terapi, dilakukan berbagai konseling dan pemberian informasi secara bertahap mengenai penyakit dan kondisi pasien serta hal-hal yang dapat terjadi selama pengobatan berlangsung, sehingga pasien dapat memahami berbagai hal tentang penyakit yang dialaminya, bagaimana menggunakan obat sesuai dengan regiment yang ditetapkan, apa yang terjadi pada obat dan penyakit ketika regiment pengobatan tidak dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan, bagimana meminimalkan efek samping yang mungkin muncul selama pengobatan atau bagaimana teknik pengobatan yang harus dilakukan ketika efek samping tersebut muncul, dan berbagai hal lainnya yang mendukung terlaksananya pengobatan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam istilah ini, pasien juga memiliki tanggunjawab dalam memonitor hasil pengobatan dengan cara melaporkan kembali tentang respon terapi yang dirasakan selama pengobatan kepada dokter.
DOWNLOAD

Mengapa Pasien Harus Adherence

Penentu efek terapi (efek farmakologi) obat adalah jumlah obat yang sampai pada reseptor (mampu memicu efek farmakologi) dan jumlah reseptor pada tempat aksi obat. Salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah obat yang sampai ke reseptor adalah regiment terapi yang harus dijalani pasien dengan tepat dan benar. Misalnya, obat harus diberikan setiap 8 jam selama 3 hari pengobatan. Regiment ini ditetapkan agar jumlah obat yang mencapai reseptor adalah dalam konsentrasi terapi, dan pasien harus mematuhi regiment ini (adherence). Jika pasien tidak mematuhi regiment, misalnya lupa mengambil salah satu dosis atau terlambat mengkonsumsi obat, maka konsentrasi obat di reseptor pada saat mengkonsumsi dosis selanjutnya akan berada di bawah jendela terapi dan efek obat akan berkurang atau tidak tercapai. Sebaliknya jika pasien mengkonsumsi 2 dosis dalam satu waktu, maka konsentrasi obat yang mencapai reseptor akan melonjak tinggi dan mungkin akan berada di atas konsentrasi efektif maksimal (atau berada di zona toksik). Pada keadaan ini efek samping atupun efek toksik obat akan muncul, terutama untuk obat-obatan dengan indeks terapi sempit. Hal inilah yang mendasari kenapa pasien harus adherence dengan regiment terapi yang harus dijalaninya selama pengobatan.
DOWNLOAD

Upaya yang dapat dilakukan agar adherence dapat tercapai

a. Menerapkan sistem monitoring dosis (MEMs). Sistem ini menggunakan ”kotak dosis” dimana obat disajikan dalam kotak terbagi yang dilengkapi dengan instruksi penggunaan obat dan waktu minum obat. Metode ini hanya cocok untuk pasien rawat inap, sedangkan untuk pasien rawat jalan metode ini sulit untuk dimonitoring, karena tidak ada jaminan kalau obat telah dikonsumsi oleh pasien.
b. Sistem Alarm. Menggunakan alarm untuk mengingatkan pasien untuk minum obat, atau dengan menggunakan telphone (atau SMS) untuk mengingatkan waktu minum obat pasien. Cara ini juga masih memiliki berbagai kelemahan, diantaranya sistem ini akan memakan waktu jika pasien cukup banyak, selain itu juga tidak ada jaminan pasti apakah pasien telah mengkonsumsi obatnya.
c. Sistem Refill (mengisi ulang obat pada saat minum obat). Sistem ini juga hanya cocok untuk pasien rawat inap.
d. Penyederhanaan dosis/regiment. Misalnya dengan memilihkan produk sustained release, sehingga dapat mengurangi frekuensi minum obat dalam satu hari dan sekaligus mengurangi kejenuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.
e. Pemberian informasi obat dan terapi, dilakukan secara langsung melalui konseling dan pemberian informasi tertulis kepada pasien, meliputi informasi penyakit yang diderita serta kondisi tubuh pasien, informasi obat dan teknik pengobatan yang dijalani, dan berbagai hal yang mendukung keberhasilan terapi dengan obat serta meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Pemberian informasi obat dan terapi secara lisan melalui konseling dan informasi tertulis dianggap sebagai GOLD STANDAR dalam meningkatkan adherence. Melakukan konseling secara bertahap diharapkan pasien akan memahami berbagai hal, terutama tentang penyakit yang sedang diderita, resiko apa yang akan dialami jika penyakit tidak teratasi dengan baik, bagaimana pengobatan bisa menyembuhkan penyakit, seperti apa regiment terapi yang harus dijalani, apa yang terjadi jika pasien tidak menjalani terapi dengan obat sesuai instruksi pengobatan, efek samping obat, cara menghindari atau meminimalkan munculnya efek samping obat atau cara menjalani pengobatan. Selain itu, dengan melakukan konseling dan pemberian informasi sederhana secara bertahap kepada pasien akan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap pengobatan yang sedang dijalaninya. Disini pasien akan terlibat aktif dalam pengobatan, karena komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua arah. Pasien dapat memilih dari beberapa pilihan regiment terapi yang ditawarkan. Hasil konseling dan pemberian informasi obat akan meningkatkan pengetahuan pasien terhadap pengobatan yang dijalani dan akan meningkatkan adherence.

Contoh kasus tentang akibat pengobatan yang tidak adherence...
silahkan download file pdf nya ea.... thanks...
DOWNLOAD (PDF)

Jumat, 06 Agustus 2010

Pengobatan HIV/AIDS dengan Terapi Antisense Menggunakan Si-RNA




Pengobatan HIV/AIDS dengan Terapi Antisense Menggunakan Si-RNA
oleh :
Yance Anas

Staff Dosen Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang.

 DOWNLOAD  (File type : PDF 200 Kb)

Salah satu strategi dalam menyembuhkan penderita HIV/AIDS dengan terapi antisense adalah dengan menggunakan short interfering RNA (siRNA).  Prinsip dari terapi ini adalah menggunakan small RNA yang dapat menghambat ekspresi beberapa gen spesifik virus HIV/AIDS, sehingga dapat menghentikan sintesis protein yang digunakan virus untuk bertahan hidup, diantaranya adalah protein yang terlibat dalam replikasi.  Selain itu, terapi dengan siRNA juga dapat menghambat ekspresi gen spesifik pada sintesis protein yang mendukung infeksi virus HIV/AIDS ke dalam sel host.
            siRNA adalah RNA double stranded yang terdiri dari 21 -23 pasangan basa yang mampu membentuk komplement dengan target sekuen spesifik mRNA.  siRNA berasosiasi dengan molekul helikase dan nuclease membentuk kompleks dengan RISC (RNA-inducing silencing compleks) yang akan melepaskan komplemen siRNA membentuk ss-siRNA dan kemudian kompleks ini akan dapat berkomplement dengan mRNA target, sehingga akan memotong mRNA target.  Selanjutnya potongan-potongan mRNA akan didegradasi oleh enzim RNase (Kitabwalla dan Ruprecht, 2002).  Penghancuran mRNA virus HIV/AIDS yang dimediasi oleh siRNA selanjutnya akan menghentikan sintesis protein yang essensial bagi virus untuk melakukan replikasi di dalam sel host dan atau tidak dapat keluar dari sel host, sehingga akan membatasi infeksi pada sel-sel sehat lainnya (skema dapat dilihat pada gambar 1).
Terapi pasien yang terinfeksi virus HIV/AIDS saat ini didasari pada ekspresi beberapa protein penting dalam virus HIV/AIDS yang mendukung infeksi virus ke dalam sel host, replikasi dan pembentukan lapisan capsid, serta protein-protein yang terlibat pada tahap akhir repikasi dan protein yang dibutuhkan untuk proses lisys (keluar dari sel).  Beberapa protein yang mendukung proses infeksi ke dalam host (disebut juga sebagai protein kofaktor selular) diantaranya adalah NF-B, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5.  Berbagai protein ini bisa dijadikan sebagai target dalam terapi HIV/AIDS dengan menggunakan siRNA.  Beberapa hasil penelitian yang direview oleh Reddy, et.al. (2006) menyimpulkan bahwa semua ekspresi gen dalam sintesis protein NF-B, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5 telah berhasil dihambat oleh siRNA dan mengakibatkan penghambatan dalam replikasi virus HIV dalam beberapa cell line manusia, sel limposit T dan  hematopoetics stem cells yang berasal dari magropagh.  Selain itu, siRNA juga telah terbukti menghambat ekspresi gen pada sintesis protein CD4, protein gag dan nef (protein yang terlibat dalam regulasi mRNA virus di dalam sel host).  CD4-siRNA mampu mengurangi ekspresi gen protein CD4 pada sel Magi CCR5 yang terinfeksi virus HIV-1 sebesar 75% (Novina, et.al., 2207).

Gambar 1.  The Human Immunodeviciency Virus (HIV) life cycle and RNA interference (Kitabwalla dan Ruprecht, 2002)

Poliprotein gag (diekspresikan oleh gag gen virus HIV/AIDS) akan dipecah secara proteolitik menjadi polipeptida p24, p17 dan p15 dan akan membentuk struktur inti kapsul virus. Polipeptida p24 berfungsi sebagai pelapis atau kemasan materi genetik virus.  p24-siRNA telah terbukti mengakibatkan degradasi pada region gag mRNA virus, mengakibatkan penghambatan akumulasi genomic virus dan p24.  Akibatnya adalah terjadinya penghambatan replikasi virus HIV-1 dalam sel host.  Dua hari setelah pemberian p24-siRNA terjadi penurunan protein virus HIV-1 sebesar empat kali lipat dibanding kontrol. Protein nef adalah salah satu protein regulasi (non-struktural protein) yang diekspresikan oleh virus HIV-1 sebelum terintegrasi dengan genome host.  Penghambatan ekspresi gen p24 dan nef akan menghambat perbanyakan virus pada tahap awal selama infeksi berlangsung (Novina, et.al., 2002)
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu strategi untuk mengobati penderita HIV/AIDS dengan terapi antisense adalah dengan menggunakan siRNA yang akan mampu menghambat berbagai sintesis protein penting bagi virus HIV/AIDS untuk dapat masuk ke dalam sel host dan melakukan replikasi.  Obat yang digunakan dalam terapi antisense berbasis siRNA haruslah didesain secara spesifik dan hanya akan berkomplement dengan mRNA target, sehingga siRNA hanya akan berikatan dengan mRNA target saja (very high specificity), hal ini akan mengurangi efek toksik yang ditimbulkan sehingga tidak menganggu ekspresi gen normal lainnya dalam tubuh manusia (Luthura, 2006).  DOWNLOAD

Efek Samping siRNA
Walaupun demikian, aplikasi penggunaan siRNA masih menimbulkan efek samping.  Hal ini dikarenakan siRNA sengaja didesain untuk mampu berikatan dengan sekuen spesifik mRNA virus, atau dengan kata lain siRNA adalah komplement dari mRNA spesifik virus HIV/AIDS yang dapat bertindak sebagai antigen...........
untuk kelanjutannya silahkan download aja file pdf nya ea......  DOWNLOAD


DAFTAR PUSTAKA

Jackson A.L, Bartz S.R, dan Schelter J., 2003 Expression profiling reveals off-target gene regulation by RNAi. Nature Biotechnology. 21(6):635–637.

Kitabwalla, M. dan Ruprecht, RNA Interference, N.Eng.J.Med. 347(17) : 1364 – 1367.  DOWNLOAD

Luthra, R., 2006, Aplication of RNAi in Drug Development, Literature Seminar Report, Shelby Hall Room, 151.  DOWNLOAD

Novina, D.C., Murray, M.F., Dykxhoorn, D.M., Baresford, P.J., Riess, J., Lee, S.K., Collman, R.J., Libierman, J., Shankar, P., Sharp, P.A., 2002, siRNA-directed inhibition of HIV-1 infection, Nat.Medicine 8(7) : 681 – 686DOWNLOAD

Semizarov D, Frost L, Sarthy A, Kroeger P, Halbert DN dan Fesik SW., 2003, Specificity of short interfering RNA determined through gene expression signatures. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 100(11):6347–6352.

Reddy, L.S., Sarojamma, V dan Ramakrishna V., 2006, RNAi in Medicine : Curent and Future Prospective, Biotechnology and Molecular Biology Review, 1(4) : 103 - 114. DOWNLOAD

Sioud M dan Sorensen DR., 2003 Cationic liposome-mediated delivery of siRNAs in adult mice. Biochemical and Biophysical Research Communications. 312(4):1220–1225.

Sioud M., 2004, Therapeutic siRNAs. Trends in Pharmacological Sciences. 25(1):22–28.

Siold M. dan Furset, G., 2006, Molecular Basis for the Immunostimulatory Potency of Small Interfering RNAs, J.Biomed.Biotechnol. 2006(4) : 2342 - 2349
Song E, Zhu P, dan Lee S-K., 2005 Antibody mediated in vivo delivery of small interfering RNAs via cell-surface receptors. Nature Biotechnology. 23(6):709–717.