Setelah satu bulan ga nulis akhirnya bisa nulis lagi…. Berhubung kemaren lagi ujian S2 di UGM dan dilanjutkan dengan ujian di Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang (unwahas) selama 2 minggu. Tapi bingung mau nulis apa…
Kali ini yang tak pos kan adalah jawaban ujian akhir mata kuliah toksikologi dasar di Fakultas Farmasi Unwahas… tulisan ini saya poskan berdasarkan keprihatinan atas jawaban ujian mahasiswa… moga-moga tulisan ini bisa menjawab rasa penasaran mahasiswa fakultas farmasi pada waktu ujian kemaren….
1. Pengaruh penyakit saluran cerna terhadap toksisitas senyawa toksik.
Penyakit saluran cerna, terutama penyakit di usus halus seperti radang usus atau borok usus akan membuat fungsi usus halus sebagai tempat absorpsi akan terganggu, dan hal ini tentu saja akan berpengaruh pada proses absorpsi racun di saluran cerna. Sebagai konsekuensinya adalah kadar racun di dalam darah dan reseptor (biofase) akan berkurang yang dikarenakan proses absorpsi racun juga berkurang. Hal ini tentu saja akan mengurangi intensitas efek toksik (toksisitas) senyawa kimia.
2. Pengaruh umur terhadap toksisitas senyawa.
Umur merupakan salah satu factor fisiologis yang dapat berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Usia balita dan anak-anak (0 – 16 tahun) mempunyai kondisi fisiologis dan komposisi tubuh yang berbeda dengan orang dewasa (16 – 60 tahun). Begitu juga dengan sistem organ (terutama hati dan ginjal) serta sistem enzim yang terlibat dalam proses metabolisme racun, dimana pada balita dan anak-anak belum sesempurna orang dewasa. Hal ini akan berpengaruh terhadap toksisitas senyawa kimia. Umumnya toksisitas senyawa kimia akan lebih tinggi pada balita dan anak-anak jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Tingkat umur lansia (> 60 tahun) mempunyai kondisi fisiologis yang sudah mulai menurun jika dibandingkan dengan orang dewasa, seperti fungsi hati dan ginjal sebagai organ metabolisme dan eksresi sudah mengalami kemunduran fungsi. Sebagai konsekuensi dari kedua keadaan di atas adalah obat / racun akan lama berada dalam peredaran darah atau reseptor dan relative lebih lambat dikeluarkan dari tubuh melaui organ eksresi. Hal ini tentu saja akan meningkatkan toksisitas senyawa kimia bila dibandingkan dengan orang dewasa sehat.
3. Kriteria toksisitas senyawa toksik beserta parameter LD50 nya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
4. Strategi terapi yang bisa ditangani dalam menangaini kasus keracunan
Strategi pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan terapi supportif (menaikkan nilai batas ambang keracunan). Terapi suportif bertujuan untuk menstabilkan keadaan pasien sehingga menjauhkan pasien dari keadaan gawat dan kematian. Tindakan terapi suportif yang dapat dilakukan diantaranya adalah oksigenasi untuk memperbaiki kondisi pernafasan, terapi cairan dengan infus, pemeriksaan tanda-tanda vital dan lain sebagainya. Strategi kedua adalah dengan memilih satu diantara 2 stategi dibawah ini :
a. Menggeser kurva absorpsi atau distribusi ke arah kanan, yang berarti tindakan ini ditujukan untuk menghambat atau memperlambat absorpsi
b. Menggeser kurva eliminasi ke arah kiri yang berarti tindakan ini ditujukan untuk mempercepat eliminasi racun keluar tubuh.
Dua strategi di atas dilakukan berdasarkan estimasi sejauh mana peredaran racun di dalam tubuh. Jika diperkirakan racun telah melampaui fase absorpsi dan distribusi, maka strategi yang dipilih adalah menggeser kurva eliminasi kearah kiri dengan mempercepat metabolisme dan eksresi melalui tindakan khas atau tindakan tidak khas dengan menggunakan antidot tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar